DP Rp 500.000,00 BAYAR SUKA-SUKA

Berikut Tiga Tingkatan Hati, Di Manakah Posisi Hatimu?

Oplus_131072

Hal ini disampaikannya dalam ceramah di Masjid KH Sudja Yogyakarta, pada Ahad (19/10).

Dalam pengajian yang berlangsung khidmat itu, Ustadi Hamsah memulai dengan mengutip Surah An-Nahl ayat 78 dan Al-Mu’minun ayat 78, yang mengingatkan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, lalu Allah menganugerahkan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani (afidah).

Baca juga: Pemkot Tangerang Buka Sayembara Desain Revitalisasi Masjid Agung Al-Ittihad, Total Hadiah Rp 87 Juta

“La’allakum tasykurun, supaya kita bersyukur,” ujarnya menekankan makna ayat tersebut.

Ustadi Hamsah lantas menjelaskan makna syukur yang sebenarnya. Menurutnya, syukur bukanlah sekadar tradisi “syukuran” yang identik dengan makan-makan.

“Bersyukur itu kita menggunakan, kita manfaatkan, kita nanjak semua anugerah yang diberikan kepada kita, potensi yang ada dalam diri kita, kesehatan, kesempatan, untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, untuk meningkatkan kebaikan-kebaikan kita. Itu namanya syukur,” jelasnya

Baca juga: Muhammadiyah Tetapkan Awal Ramadan 1447 H Jatuh pada 18 Februari 2026

 Ia menegaskan bahwa berbagi makanan dalam acara syukuran adalah hal yang baik, tetapi jangan sampai makna syukur direduksi hanya menjadi itu. Syukur yang sejati adalah memanfaatkan seluruh anugerah—termasuk hati—untuk menebar kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Tiga Tingkatan Hati

Mengutip sebuah hadis, Ustadi Hamsah memaparkan bahwa Rasulullah SAW mengibaratkan petunjuk dan ilmu dari Allah seperti hujan yang menyirami berbagai jenis tanah, yang merepresentasikan tiga tingkatan hati manusia:

Pertama, hati yang subur. Hati jenis ini mampu menyerap “hujan” petunjuk Allah dengan baik. Hati seperti ini tidak hanya menampung, tetapi juga menumbuhkan “tumbuhan” kebaikan dan memberi manfaat bagi sekitarnya. Ciri-cirinya adalah:

  • Selalu terdorong untuk berzikir (mengingat Allah), baik dengan lisan maupun perbuatan, dalam segala kondisi.
  • Terbebas dari penyakit hati seperti hasad (iri dengki), riak (pamer), ujub (bangga diri), dan takabur (sombong).
  • Gelisah ketika melakukan dosa dan tidak suka perbuatan dosanya diketahui orang lain.

Kedua, hati yang sakit. Hati ini bisa menampung ilmu dan kebaikan untuk sementara, tetapi tidak bisa menahannya lama. Seperti genangan air yang akhirnya hilang mengalir, kebaikan yang masuk tidak membekas dan tidak menghasilkan buah yang permanen. Hati ini sudah mulai diselimuti penyakit-penyakit hati.

Ketiga, hati yang mati. Hati ini sudah tidak mampu lagi menampung petunjuk sama sekali. “Hujan” kebaikan dan ilmu sebesar apapun akan langsung “habis” tanpa bekas. Hati ini membenci zikir, condong pada kemaksiatan, dan tidak lagi merasa gelisah saat berbuat dosa.

Ustadi Hamsah mengingatkan bahwa setiap dosa akan menorehkan titik hitam pada hati. Jika dibiarkan dan tidak segera bertaubat, titik-titik hitam itu akan menumpuk menjadi “ron” (karat) yang menutupi dan mematikan hati.

Di akhir ceramahnya, Ustadi Hamsah berpesan agar jemaah senantiasa introspeksi dan berusaha memiliki hati yang sehat. Kunci utamanya adalah menyadari kesalahan, segera bertaubat, dan memperbanyak zikir kepada Allah.

“Semoga kita semuanya dilindungi Allah dari hati yang mati, dan kita semuanya insyaallah hati kita hati yang sehat, hati yang bersih seperti tanah yang mampu menampung air, menghidupi rumput, tanam-tanaman hijau, dan bisa memberi pengairan, memberi kebaikan kepada siapapun,” pungkasnya penuh harap.(SDA)

ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL TERBARU

Menu