Dalam keterangan Ahli, Dwi Purwantoro Sasongko yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro (2014 – 2024) menerangkan adanya penyederhanaan proses penyusunan Amdal yang disertai proses penilaian dengan mencakup uji kelayakan dan/atau ketidaklayakan lingkungan dilakukan dengan pengintegrasian beberapa sistem, yakni sistem pengelolaan produksi, sistem pengelolaan lingkungan, dan sistem pengelolaan sosial secara holistik. Semua diarahkan untuk tetap mempertahankan terpeliharanya fungsi-fungsi ekologis ekosistem dan minimasi dampak sosial dan tidak memprioritaskan kepentingan investasi di atas kelestarian lingkungan.
Sebab, lanjut Dwi, dengan adanya perubahan terminologi atau frasa ”izin lingkungan” menjadi ”persetujuan lingkungan” yang disertai dengan penguatan pengaturan prosesnya pada peraturan pelaksanaan dan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) ini, khususnya dengan terbitnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Nomor 1637 Tahun 2025 tentang Pengintegrasian Persetujuan Lingkungan, Persetujuan Teknis, Rincian Teknis dan Dokumen Rincian Teknis Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup. Hal ini telah memberikan jaminan kepastian berusaha melalui kepastian proses penerbitan persetujuan lingkungan yang terintegrasi dengan proses penerbitan perizinan berusaha.
Adapun pengintegrasian proses yang diatur dalam Keputusan Menteri tersebut meliputi permohonan penilaian/pemeriksaan dokumen lingkungan hidup yang bisa dilakukan bersamaan atau secara paralel dengan proses penerbitan Persetujuan Awal, Persyaratan Dasar dalam bentuk Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), dan Persetujuan Teknis dalam bentuk Pemenuhan Baku Mutu Air Limbah, Pemenuhan Baku Mutu Emisi, Pengelolaan Limbah B3 dan Andalalin yang selama ini bersifat sekuensial, sehingga memangkas waktu proses secara signifikan.
“Pengintegrasian tersebut semakin signifikan dalam penyederhanaan proses dengan tersedianya sistem aplikasi Amdalnet yang terintegrasi dengan Sistem Online Single Submission. Pemenuhan terhadap SLA akan dieksekusi oleh sistem, sehingga tata waktu dijamin terpenuhi karena ada ”batas waktu maksimal”. Bahkan untuk SPPL yang terintegrasi dengan NIB, UKL-UPL untuk kegiatan Tingkat Risiko Rendah dan Risiko Menengah Rendah dapat dieksekusi secara real time karena sudah tersedia standar umum dan standar spesifik yang lengkap dan terintegrasi dalam Sistem Amdalnet dan Sistem OSS,” jelas Dwi.
Tidak Menghapus Perlindungan Lingkungan
Kemudian, Bambang Hendroyono sebagai Ahli Ilmu Lingkungan dari Universitas Brawijaya mengatakan adanya perubahan pada UU Cipta Kerja tidak menghapus perlindungan terhadap lingkungan. Menurutnya, asas lingkungan hidup yang memuat di antaranya tanggung jawab negara, keberlanjutan, partisipatif pada UU ini tidak menghapus asas-asas tersebut dan tetap menjadi dasar perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Baca juga: Presiden Prabowo Dorong Penegak Hukum yang Adil dan Berpihak kepada Rakyat Kecil
Adanya pergeseran terminologi dari izin lingkugan menjadi persetujuan lingkungan lebih didasarkan pada pandangan publik khususnya public policy dalam melihat perkembangan tata ruang yang mendorong agar diubahnya regulasi demi kemudahan usaha. Sehingga dibuatlah sistem yang mengedepankan perizinan berusaha yang berbasis risiko. Hal ini kemudian yang menjadikan prinsip lingkungan hidup dengan mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kualitas lingkungan hidup.
“Oleh karena itu, perubahan terjadi tak lagi menggunakan izin lingkungan tetapi menjadi persetujuan lingkungan, artinya terintegrasi dengan perizinan berusaha dan dikawal dengan sistem informasi Amdalnet dan SLA menjadi terintegrasinya dari sebuah perubahan terminologi IL ke persetujuan lingkungan,” jelas Bambang yang juga menjadi Ahli Pemerintah.
Proses Penyusunan Dokumen Lingkungan
Sementara itu, Ika Bagus Priyambada yang dihadirkan sebagai Saksi oleh Pemerintah menyampaikan bahwa dirinya saat ini menjabat sebagai Dosen Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro (sejak 1998 – sekarang) dan memiliki pengalaman sebagi penyusun dokumen lingkungan (sejak 2005 – sekarang). Ia pernah terlibat sebagai bagian dari Komisi Penilaian Amdal sebelum berlakunya UU Cipta Kerja dan menjadi anggota penilai amdal setelah UU Cipta Kerja diundangkan.
“Berdasarkan pengalamam saksi secara prinsip tidak terdapat perbedaan terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelibatan mayarakat dalam penyusunan amdal baik sebelum dan sesudah berlakunya UU Cipta kerja yang secara rinci diatur dalam PP 22/2021. Ketentuan yang berlaku sebelum peraturan tersebut, konsultasi publik dilakukan terhadap masyaraklat yang terkena dampak, masyarakat pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk putusan dalam proses amdal. Sedangakan setelah PP tersebut terbit, konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan pemerhati lingkungan, peneliti atau LSM, dan masyarakat yang terkena dampak langsung,” terang Ika Bagus.
Dalam sidang sebelumnya, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia sebagai Pemohon mendalilkan bahwa UU Cipta Kerja telah mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dengan adanya kelonggaran persyaratan lingkungan hidup bagi pelaku usaha dalam UU Cipta Kerja tersebut, berpotensi menimbulkan eksternalitas negatif yang mengancam keadilan bagi generasi mendatang.
Utamanya dalam hal pencemaran kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi dalam berbagai proyek pembangunan industri dan infrastruktur. UU Cipta Kerja tersebut justru mendegradasi izin lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan sebagai syarat perizinan berusaha, dan tidak mewajibkan semua kegiatan berusaha mendapatkan “izin”, tergantung pada risiko yang prasyaratnya tidak memiliki penjelasan untuk menjawab persoalan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Akibatnya Pemohon tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum, partisipasi publik, informasi publik, lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konteks lingkungan hidup.
Menurut Pemohon, sejatinya salah satu peran negara pada dasarnya, yakni memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam melalui instrumen perizinan untuk memberikan kepastian hukum kepada setiap warga negaranya. Dengan catatan hal tersebut dilandaskan pada ketentuan perundang-undangan dengan memperhatikan aspek-aspek perlindungan dalam kerangka pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan yang adil bagi antargenerasi.(SDA)


