JN-Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) mengunjungi kawasan pabrik air mineral di Subang dan menemukan fakta menyedihkan: warga di sekitar sumber air melimpah justru terpaksa mengonsumsi air kotor dari sawah. Di sisi lain, KDM menyoroti anomali birokrasi, di mana perusahaan dipaksa membayar air ke tiga lembaga sekaligus.
KDM disambut tangis haru seorang warga setempat yang menceritakan kondisi Desa Pasangrahan. Selama satu tahun terakhir, sejak terjadi longsor pada tahun 2024, warga kehilangan akses air bersih yang memadai. Warga terpaksa menggunakan air dari sawah untuk minum dan kebutuhan harian lainnya, yang berpotensi tercemar pestisida.
“Orang sini ngambilnya air dari sawah, Pak… Sekarang kita masyarakat ngambilnya dari sawah untuk minum, untuk apapun juga semuanya dari sawah,” ungkap warga tersebut.
Baca juga: Peningkatan Kesejahteraan dan Perekonomian, OJK Gelar Puncak Bulan Inklusi Keuangan di Surabaya
Warga menjelaskan, sebelum perusahaan didirikan, mata air di lokasi tersebut dinikmati warga secara gratis. Setelah bencana longsor, akses air bersih terhenti.
KDM menegaskan bahwa hak warga harus diprioritaskan, terutama karena mereka tinggal di lokasi sumber air pegunungan.
“Jangan sampai saya mendapat akses air pegunungan, sedangkan orang gunungnya mendapat minum air pesawahan,” tegas KDM.
Baca juga: Realisasi PAD Abdya Capai 56 Persen, BPKK Fokus Digitalisasi dan Inovasi Pemungutan
KDM memerintahkan Pemprov Jabar untuk segera membantu pembangunan jaringan pipa air bersih baru, mengambil air dari sumber yang sama dengan yang digunakan pabrik. Ia menjanjikan bantuan anggaran senilai lebih dari Rp250 juta.
Dalam dialog dengan perwakilan perusahaan, KDM terkejut dengan praktik pungutan yang dinilai tidak efisien dan tidak berdasar. Perusahaan saat ini wajib membayar pemanfaatan air yang bersumber dari asetnya sendiri kepada tiga lembaga: Bapenda, PDAM, dan PJT (Perum Jasa Tirta).
“Pungutan air kita bayar, Pak. Kan kita bayar. Nah, yang yang saya flowing ke selokan itu, Pak, kalau kita gunakan lagi itu kita bayar lagi, Pak,” kata perwakilan perusahaan.
KDM mempertanyakan mengapa perusahaan harus membayar kepada PDAM dan PJT, padahal air yang diambil bersumber dari mata air dan air tanah perusahaan, bukan air yang dikelola oleh kedua lembaga tersebut.
“PJT jasanya apa? PDAM jasanya apa? Cai nu sorangan, sumber nu sorangan, kunaon nu kudu di mayar pajak kan aneh,” kritik KDM.
KDM bertekad akan mengevaluasi dan mengundang PJT untuk menjelaskan perannya, agar perusahaan hanya membayar satu jenis pajak (Pajak Air Tanah) dan biaya yang dikeluarkan menjadi efisien.
Dampak Longsor dan Reformasi Tata Kelola
Bencana longsor 2024 membawa dampak ganda: krisis air bagi warga dan masalah ekonomi bagi pekerja lokal.
Penurunan Produksi dan Efisiensi: Longsor menyebabkan penurunan produksi, yang mengakibatkan penurunan pendapatan warga sekitar dan terjadinya efisiensi (PHK) di pabrik.
Akar Masalah Longsor: Longsor diduga disebabkan oleh rembesan air dari lahan sawah yang berada di atas tebing. KDM berencana membebaskan lahan sawah tersebut untuk dijadikan kawasan hijau demi mencegah longsor berulang.
Pajak untuk Rakyat: KDM menegaskan bahwa pajak yang dibayarkan oleh perusahaan harus kembali ke rakyat sekitar dalam bentuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan jaringan air bersih.
KDM juga menanggapi kekhawatiran warga yang takut pabrik akan tutup akibat sorotan media, dan meyakinkan bahwa tujuannya adalah untuk memperbaiki manajemen dan menjamin perusahaan terus berjalan dengan aman.(IMH)









