DP Rp 500.000,00 BAYAR SUKA-SUKA

Pemerintah Tegaskan Komitmen Penuh pada Tata Kelola Hutan yang Adil dan Transparan

Oplus_131072

Pemanfaatan hasil hutan kayu di Indonesia sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan kerangka hukum yang ketat, yaitu melalui skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Perhutanan Sosial, dan Hak Pengelolaan di kawasan hutan, serta izin pemanfaatan kayu untuk kegiatan non-kehutanan (PKKNK) di Areal Penggunaan Lain (APL) yang merupakan wilayah berhutan yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan. Skema perizinan tersebut mengatur agar setiap kegiatan penyiapan lahan, penanaman hutan, atau pembangunan infrastruktur dilakukan berdasarkan izin resmi disertai dengan kewajiban untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan sosial masyarakat di sekitarnya.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), Laksmi Wijayanti, menegaskan: “Berdasarkan peraturan perundangan, kayu yang dihasilkan dari PBPH di kawasan hutan maupun dari izin PKKNK di areal penggunaan lain merupakan hasil dari proses legal yang diawasi dan diverifikasi ketat oleh Pemerintah melalui Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK).”

Dalam kebijakan kehutanan Indonesia, makna deforestasi adalah perubahan permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Pemanfaatan kayu yang diatur pemerintah adalah justru untuk memastikan karakternya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable natural resources) bisa digunakan secara lestari dan optimal memberikan manfaat.

Baca juga: Menkeu Tekankan Peran Strategis Perbendaharaan Menjaga Pertumbuhan Ekonomi

“Pemerintah sudah melewati berbagai milestones dalam penyempurnaan kebijakan kelestarian dalam pemanfaatan hasil hutan, sekaligus memperkuat pengawasan dan mitigasi risiko-risiko negatifnya,” lanjut Laksmi. “Penyempurnaan tata kelola hutan secara terus menerus hingga kini masih menjadi kerangka dasar seluruh kebijakan, strategi, dan prioritas program kehutanan Indonesia.”

Kegiatan pembukaan hutan tidak bisa seluruhnya otomatis dikategorikan sebagai deforestasi dan berimplikasi ilegal. Pemerintah memberikan perbedaan antara deforestasi yang dilakukan tanpa izin sah — dan kemudian menimbulkan kerusakan lingkungan — dengan proses pembukaan lahan yang telah melalui mekanisme perizinan resmi sebagai bagian dari rencana pembangunan yang telah disetujui, seperti hutan tanaman, pembangunan fasilitas umum, atau pemanfaatan kawasan hutan untuk kepentingan nasional.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi mewajibkan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). Setiap pemegang izin PBPH wajib melaksanakan kegiatan penanaman kembali, konservasi keanekaragaman hayati, serta pelibatan masyarakat sekitar hutan.

Baca juga: Pada Akad Massal KUR Terbesar dalam Sejarah, Menko Airlangga: UMKM adalah Pahlawan Ekonomi Indonesia

Laksmi menjelaskan lebih lanjut: “Pembukaan lahan pada areal PBPH Hutan Tanaman dan PKKNK merupakan bagian dari proses pengelolaan lanskap yang legal dan terukur. Dalam konteks PBPH Hutan Tanaman, kegiatan tersebut diikuti oleh penanaman kembali (reforestasi) sehingga fungsi hutan tetap terjaga dalam siklus pengelolaan yang berkelanjutan.”

Dari kegiatan penyiapan lahan di bawah izin PBPH maupun PKKNK, dihasilkan kayu yang disebut kayu konversi atau kayu hasil land clearing. Kayu ini diakui sebagai hasil legal sepanjang berasal dari pemegang izin yang sah dan diproses melalui sistem SVLK.

Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH), Erwan Sudaryanto menyampaikan:
“Seluruh kayu yang beredar dari kegiatan berizin harus memiliki dokumen yang terverifikasi dalam skema SVLK. Sistem ini bukan hanya memastikan legalitas, tetapi juga menjamin bahwa setiap proses produksi dan perdagangan kayu memperhatikan prinsip kelestarian dan keterlacakan (traceability). Indonesia menjadi salah satu negara dengan sistem verifikasi kayu paling transparan di dunia.” Beliau menambahkan bahwa SVLK terus diperkuat agar selaras dengan perkembangan regulasi global, termasuk kebijakan-kebijakan terkait perdagangan bebas deforestasi, tanpa mengabaikan keadilan bagi pelaku usaha di dalam negeri dan masyarakat yang menggantungkan kehidupannya dari pemanfaatan hasil hutan.

Laksmi menegaskan kembali: “Dalam rangkaian rantai pasok industri dan pasar produk berbasis kayu, instrumen izin dan penaatannya merupakan tulang punggung. Pemerintah tidak pernah memberikan toleransi terhadap deforestasi ilegal dan tindakan-tindakan fraud karena nilai keunggulan Indonesia di pasar dunia adalah jaminan integritasnya. Oleh sebab itu, dua hal penting harus dilakukan selaras satu sama lain, yaitu mendudukkan konteks dan fakta atas klaim tindakan deforestasi ilegal, dan konsistensi penegakan hukum mandat peraturan perundangan.”

Dalam prakteknya, izin yang diberikan mewajibkan tiga langkah utama : pelaksanaan inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB) untuk meningkatkan akurasi potensi hasil hutan; perencanaan pengelolaan hutan jangka panjang melalui Rencana Kerja Usaha yang memaksimalkan pencapaian tujuan ekonomis, ekologis dan sosial secara berkelanjutan; dan perencanaan operasional melalui Rencana Kerja Tahunan yang implementasinya rinci dan terukur sehingga mudah mendeteksi hal-hal diluar kewajaran.

Erwan menegaskan : “Di tingkat operasional, kegiatan penebangan kayu terdata mulai dari titik lokasinya, ukuran volume panen dan konsistensinya saat berjalan dalam rangkaian rantai pengolahan hulu hilir, ketentuan kewajiban penanaman kembali, dan pemulihan ekosistemnya.”

Di era keterbukaan informasi, Pemerintah menyambut baik inisiatif pengawasan publik dan terus menyempurnakan sistem informasi dan infrastruktur enabling-nya. Program digitalisasi adalah langkah penguatan keterbukaan data dan akuntabilitas pelaporannya. Kolaborasi pengawasan dengan lembaga independen, masyarakat sipil, dan mitra internasional untuk memastikan kredibilitas sistem nasional dalam mengelola dan menelusuri asal-usul kayu terus didorong untuk mengoptimalkan penaatan dan penegakan hukum.

Dalam kesempatan yang sama, Erwan menambahkan : “Kita ingin publik dan mitra dagang internasional memiliki keyakinan bahwa kayu Indonesia berasal dari sumber yang legal, lestari, dan diverifikasi secara transparan. Sistem ini menjadi bukti nyata bahwa Indonesia tidak hanya mengekspor produk kayu, tetapi juga mengekspor nilai-nilai keberlanjutan.”
Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dengan dukungan masyarakat, pelaku usaha, dan mitra internasional, Indonesia akan terus memperkuat sistem tata kelola hutan yang berkeadilan, terbuka, dan berkelanjutan.

“Kayu Indonesia adalah kayu legal, lestari, dan terverifikasi. Ini adalah wujud nyata komitmen Pemerintah untuk mengelola hutan secara bijak, menjaga kepercayaan pasar global, dan memastikan keberlanjutan sumber daya hutan bagi generasi mendatang,” tutup Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari.(SDA)

ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL TERBARU

Menu