JN,-Institusi Kajian Demokrasi Deconstitute dan Ikatan Agensi Jasa Bahasa mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan ke Mahkamah Konstitusi. Ayat 1 mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia.
Salah satu alasan pemohon karena ketentuan tersebut dalam pelaksanaanya menimbulkan multitafsir. Selain itu perkara yang teregistrasi No.188/PUUXXIII/2025 ini meminta Mahkamah menguji konstitusionalitas Pasal 1320 Butir 4 KUHPerdata karena ketiadaan kejelasan sanksi dan akibat hukumnya serta ambiguitas konseptual.
Baca juga: Warga Padati Festival Olahraga Rawalumbu, Tri Adhianto Ajak Warga Budayakan Bawa Tumbler
Kuasa Hukum pemohon, Harimurti Adi Nugroho, mengatakan ketiadaan norma sekunder, sanksi hukum pada norma primer kewajiban dalam Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 menimbulkan permasalahan multitafsir dalam penerapannya. Norma ketentuan itu tak lengkap (lex imperfecta) karena seluruh batang tubuh UU 24/2009 tidak memuat ketentuan sanksi atas pelanggaran kewajiban tersebut.
Baca juga: Satpol PP Tertibkan 515 Bangunan Liar di Bantaran SS Sukatani
Anda bosan baca berita biasa?
Kami persembahkan untuk Anda produk jurnalisme hukum terbaik. Kami memberi Anda artikel premium yang komprehensif dari sisi praktis maupun akademis, dan diriset secara mendalam.
“Absennya sanksi mengakibatkan dualisme interpretasi yang diametral di kalangan praktisi, akademisi, dan putusan pengadilan mengenai akibat hukum pelanggaran Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009,” kata Harimurti kepada Mahkamah dalam pemeriksaan pendahuluan perkara No.188/PUUXXIII/2025, Jumat (17/10/2025) pekan kemarin.
Baca juga:
MK Beri Ruang Masyarakat di Kawasan Hutan Berkebun Tanpa Izin Pemerintah Pusat
UU ASN Inkonstitusional Bersyarat, MK Minta Dibentuk Lembaga Independen
Pakar Pidana: Norma Buruk Pasal 21 UU Tipikor Melahirkan Kontradiksi
Misalnya, ada pendapat yang menyebut perjanjian tetap sah sepanjang ada iktikad baik berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan pacta sunt servanda. Penggunaan bahasa asing tidak membatalkan perjanjian karena sebab yang halal (Pasal 1320 butir 4 KUH Perdata), hanya merujuk substansi atau tujuan perjanjian saja, bukan aspek formil, seperti bahasa yang digunakan. Pendapat lainnya menyebut perjanjian batal demi hukum karena pelanggaran UU 24/2009 menjadikan sebab tidak halal dengan menginterpretasikan suatu sebab atau oorzaak secara luas mencakup aspek materiil dan formil, termasuk bahasa.
Polarisasi interpretasi itu menurut Harimurti bukan hanya disebabkan ketiadaan sanksi Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009, melainkan Pasal 1320 butir 4 KUHPerdata. Frasa ‘suatu sebab’ dalam Pasal 1320 butir 4 KUHPerdata multitafsir dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Akibatnya multitafsir, misalnya suatu sebab hanya merujuk pada tujuan dan isi perjanjian (aspek materiil). Tafsir lain menyatakan suatu sebab mencakup tujuan, isi, dan bentuk atau bahasa (AL/ARM)


